Senin, 25 Oktober 2010

Siasat Baru Berjualan Sepatu



Tabloid Nova Senin 23 Maret 2009


Industri sepatu lokal tengah dihantam badai krisis global. Ada yang bertahan, banyak pula yang tenggelam. Berbagai upaya dilakukan. Dunia maya sebagai alternatif pemasaran yang efektif menarik untuk dilirik.
Suatu siang dua gadis memasuki Toko Sepatu Laila di Jalan Genteng Hijau, Kuningan (belakang Perbanas), Jakarta. Tika, nama gadis itu, menyodorkan selembar nota pesanan. "Toko ini langganan mama saya. Saya baru sekali ini pesan. Habis, cari sepatu yang saya mau, di toko enggak ada," jelas mahasiswi ITB itu.
Laila (40), sang pemilik toko, memang sudah lama memberi jasa pembuatan sepatu. Langganannya beragam, dari para pemilik toko sepatu, desainer, sampai mahasiswi. "Desainer sepatu, misalnya, pesan ke saya tapi bahan baku dari dia. Saya dan karyawan tinggal mengerjakan," kata ibu tiga anak yang sudah 10 tahun membuka usahanya.
Di daerah Kuningan itu, ada sekitar delapan industri rumahan sejenis. "Dulu cuma ayah saya yang bikin sepatu. Hasilnya dititipkan ke toko-toko sepatu. Ketika saya kuliah, timbul ide ikut basar dan ternyata laku," kisah Laila yang meneruskan usaha sang ayah, (alm) H. Mohammad Sidiq.
Bila pabrik sepatu besar banyak yang nyaris bangkrut dihantam krisis global dan bahan baku dari luar negeri naik sekitar 250 persen, Laila justru berbangga hati karena order masih terus berdatangan. "Biar banyak toko jual sepatu bermerek, nyatanya kami tetap dapat order. Minimal, sehari 10 orang datang dan pesan. Itu juga kalau pas sepi," ujar Laila yang menjual sepatunya dari harga Rp 80 ribu hingga di atas Rp 500 ribu. "Tergantung bahan baku. Kalau bahan dan solnyanya dari luar negeri, bisa sekitar Rp 250 ribu. Yang bahan bakunya dalam, sekitar Rp 100 ribu untuk sepatu perempuan. Kalau sepatu pria relatif mahal karena bahan kulitnya harus bagus dan kuat."
Sepatu nyaman dipakai adalah kunci sukses dagangan Laila. Sebelum membuat pesanan, biasanya ia menanyakan hingga soal kecil. "Misalnya, apakah ada perbedaan ukuran telapak kaki kiri dan kanan. Semua diukur dengan cermat supaya ukuran sepatu pas dan nyaman dipakai."

Turun Drastis
Lain lagi cerita Joko Semedi, produsen alas kaki asal Yogya yang bisa bertahan di masa krisis sekarang ini. Meski harga kulit impor naik drastis, "Untungnya pelanggan saya lebih banyak pesan sepatu dari kulit lokal. Ada juga yang bawa bahan sendiri, saya tinggal pasang payet," tutur pria yang membuka bengkel kerjanya di kawasan Njeron Beteng Kraton Yogyakarta.
Dulu, lanjut pria yang mewarisi usaha milik orangtuanya ini, spesialisasinya adalah selop pengantin yang dihias payet. "Sekarang produk saya lebih variatif supaya pelanggan juga makin senang dan tak beralih ke produsen lain. Hampir semua desainer di Yogya membuat sepatu dan selop ke saya," kata Joko yang mematok harga Rp 90 ribu sampai Rp 200 ribu.
Laila dan Joko jelas lebih beruntung dibanding para produsen sepatu di Pusat Industri Kerajinan (PIK) Pulogadung yang tengah mati-matian bertahan dari hantaman badai krisis global. Salah satunya, Latvia Shoes & Bag yang memproduksi sepatu pria dan wanita dewasa. Mieke, staf Latvia berkisah, "Sejak Oktober 2008 hingga awal tahun 2009, tidak ada kenaikan permintaan dari pelanggan yang rata-rata dari Indonesia Timur. Penurunannya sampai 60 persen. Tapi kami tetap bertahan," ujarnya optimis.
PROMO LEWAT WEB & BLOG
Ada berbagai cara untuk menyiasati pasar yang sedang sepi. Natalia Krisna Arini (26) lebih memilih berdagang sepatu trepes alias flat shoes lewat website. "Lebih praktis! Tanpa harus bayar uang sewa toko dan listrik, produk saya bisa dikenal di mana-mana. Cukup membayar teman yang mengelola website dan membayar domain setahun sekali," jelas Arini yang memakai merek Wonders Shoe.
Awalnya, Arini adalah supplier produk tas dan sepatu untuk beberapa distro di kawasan Tebet dan Bintaro. Setelah beberapa waktu tak ada peningkatan permintaan, Arini fokus ke usaha sepatu. Sejak Juni 2008 ia memilih website sebagai ajang menggelar dagangannya.
Di websitenya itulah Arini mengunggah foto-foto produk sepatu yang dijual rata-rata Rp 135 ribu. "Calon pembeli tinggal memilih model, warna, dan ukuran sepatu. Saya tidak melayani permintaan yang tidak sesuai dengan contoh. Dalam satu-dua minggu, barang sudah jadi dan siap kirim," tutur alumnus Fakultas Keguruan Sastra Inggris Atmajaya, Jakarta.
Memang, jika melongok websitenya beragam foto sepatu dengan warna-warni menarik terpampang disitu. Diakui Arini, pemilihan model dan warna sepatunya memang serba simpel dan cerah karena ia memang membidik pasar pelajar dan ibu-ibu muda. "Belum lagi kelebihan produk saya berupa tambahan busa empuk di dalam sepatu yang membuat si pemakai lebih nyaman. Jadi memudahkan aktivitas," tuturnya.
Agar bertahan dari terpaan krisis, banyak trik dilakukan Arini. Salah satunya, menggunakan fasilitas blog temannya. "Saya punya seorang teman yang membuatkan logo produk saya. Tiap bulan saya kirimi dia sepatu baru. Dia lalu memakai sepatu itu dan fotonya dipasang di blognya.
Nah, dari situ pembaca blognya bertanya, kemudian memesan sepatu pada saya," ujar Arini yang juga membuka distro sepatu dan kaos bersama suaminya di Kemanggisan Raya, Jakarta Barat. Kini, produk Wonder Shoe sudah dikenal dan dipesan orang sampai ke Malaysia dan Singapura.
MOTIF TAK PASARAN
Cerita berjualan lewat web juga datang dari Sintia (24). Perempuan muda ini memasarkan produk sandal untuk kaum muda bermerek Eighteen. "Sejak jualan lewat website gratisan, order jadi banyak," kata Sintia yang berbisnis sejak masih kuliah Unpar, Bandung.
Dalam menjalankan usahanya Sintia bekerja sama dengan seorang teman. Sintia kebagian mendesain, sementara pembuatannya diserahkan ke Tirsa yang memiliki workshop sepatu di kawasan Pasirpogor, Bandung. Bedanya dengan produk buatan Arini, "Calon pembeli boleh memesan warna produk yang beda dengan yang saya tampilkan di web."
Setelah usahanya berjalan mulus, Sintia membuat katalog, "Bagi yang berminat menjual produk saya, boleh menjadi reseller." Dengan begitu, kerja Sintia praktis lebih enteng. "Sekarang saya punya beberapa reseller di beberapa kota. Di Jakarta saja, paling tidak ada enam reseller. Per hari, reseller bisa mendatangkan order 6 pasang sandal."
Apa lagi trik Sintia untuk melanggengkan bisnisnya? "Banyak anak muda mendesain sepatu sesuai keinginan. Ada juga yang untuk dijual lagi. Saya sekadar mewujudkan keinginan mereka. Saya memang selalu mencari bahan yang enggak umum atau pasaran, baik motif dan warnanya. Mungkin itulah yang membuat anak-anak muda suka memesan produk ke saya. Selain unik, sepatu bikinan saya juga awet. Ibarat orang makan, sampai kenyang dikenakan, sepatunya belum rusak. Padahal, harganya murah, lho," urainya berpromosi.

OPINI :
menurut saya, produsen produk yang sesuai dengan keinginan konsumen harus lebih dikembangkan lagi. Apalagi dengan teknologi yang semakin maju bisa mempermudah penawaran produk tersebut atau publikasikan produk tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar